Permasalahan Seputar Rumah Tangga
Assalamualaikum Wr. Wb.
Rumah tangga tentunya tidak akan bisa lepas dari masalah. Ada beberapa masalah rumah tangga yang sering menerpa pasangan suami istri. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya masalah rumah tangga. Terutama faktor yang berasal dari diri kita dan pasangan. Ketika menghadapi masalah rumah tangga, kita dan pasangan harus menghadapinya ya. Jangan sampai masalah tidak terselesaikan dan memberi dampak buruk untuk hubungan.
Namun, memiliki anak membuat tekanan rumah tangga bertambah. Mengasuh anak membutuhkan lebih banyak tanggung jawab dan perubahan peran.
Kehadiran anak juga membuat suami istri menjadi tidak punya waktu untuk berdua. Ini merupakan ujian bagi rumah tangga, bahkan untuk pasangan yang sudah punya hubungan yang kuat.
Supaya tidak terjadi konflik karena kehadiran anak, cobalah untuk mengatasi stres karena anak. Bangun perasaan dan pengalaman yang lebih positif.
1. Masalah Ekonomi
Masalah rumah tangga yang satu ini tak kalah berat. Karena dengan punya anak, itu menambah pengeluaran pasutri. Biasa kebutuhannya hanya berdua. Sekarang keinginan suami atau istri mesti di tahan-tahan, karena harus saving uang untuk si anak.
Fleksibel dan Pahami Tak Ada Keluarga Sempurna Setiap keluarga pasti memiliki banyak celah dan masalah. Jadi, terima dan fleksibel saja. Dalam satu tim, harus saling bantu. Tak perlu membandingkan dengan keluarga-keluarga lain.
Keputusan bersama diperlukan dalam banyak urusan pasangan yang sudah menikah. Bukan hanya tentang bagaimana menjaga rumah bersih, berapa jumlah anak yang diinginkan, atau berapa uang bulanan yang harus dikeluarkan, ternyata sepakat tentang urusan desain dan dekorasi rumah juga memegang peran penting dalam hubungan cinta yang harmonis.
Menjadi sahabat untuk suami sendiri adalah hal yang diperlukan setiap istri. Orang mungkin tidak menyadari bahwa suami atau istri sebaiknya bukan hanya bisa menjadi pasangan hati, tapi juga teman atau sahabat yang baik. Kemampuan berkomunikasi atau ngobrol tentang banyak hal memiliki kekuatan tak terduga yang ternyata bisa menentukan seberapa harmonis dan bahagia sebuah pernikahan.
Pasangan menikah yang bukan hanya bisa ngobrol tentang hal-hal baik dan menyenangkan, tapi juga bisa membicarakan beban pikiran satu sama lain, hal tak menyenangkan dan menyedihkan akan memiliki ikatan pernikahan lebih kuat dibanding mereka yang tak pernah bisa terbuka dan membicarakan hal-hal mendalam bersama. Jadi, jangan kira membicarakan tentang hal-hal baik dan menyenangkan saja yang akan bisa membuat pernikahan bertahan, ternyata 'asam dan pahit' dalam kehidupan juga perlu dibicarakan dengan pasangan agar satu sama lain bisa saling menguatkan.
Tetapi angin tidak selalu bertiup ke arah yang kita inginkan. Laut yang tenang kadang juga berombak keras, sehingga kapal harus terhempas dan perahu bisa terbalik. Kalau bukan pelaut yang tangguh, perahu terbalik tak bisa sampai ke tempatnya berlabuh. Kehidupan perkawinan kadang harus menghadapi benturan keras.
Terkadang benturan keras itu bernama keadaan, contohnya kesulitan ekonomi yang menghimpit. Terkadang benturan keras itu bernama tekanan sosial, misalnya keinginan saudara-saudara dekat atau jauh untuk menentukan warna perkawinan kita sesuai dengan apa yang mereka anggap baik dan bukan menurut syara’. Terkadang benturan keras itu bernama fitnah yang ber macam-macam sumbernya: perasangka yang diperturutkan, keadaan sulit tak terelakkan seperti kejadian yang pernah menimpa Ummul Mukmininm ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam peristiwa haditsul, atau malah bersumber dari kesukaan kita membuka keburukan saudara sendiri.
Adakalanya, benturan keras itu juga berasal dari tuntutan-tuntutan kita kepada teman hidup kita. Ini misalnya dalam kasus tuntutan istri-istri Nabi agar Nabi shallallahu ‘alaihi wassalaam memberi tambahan uang belanja. Mereka akhirnya diberi pilihan ; kehidupan akhirat yang kekal ataukah perceraian.
Mediasi adalah tindakan yang sangat dianjurkan bagi keluarga yang mengalami konflik di atas. Mediasi ini dilakukan sejak dari tahap konflik yang masih terpendam sampai pada Konflik terbuka dan bahkan mediasi tetap diperlukan walaupun perceraian sudah terjadi. Mediasi ini diharapkan dapat menemukan akar konflik sehingga persoalan tidak tambah melebar yang dapat mengancamkeutuhan rumah tangga.
Faktor-faktor yang menyebabkan Konflik dalam rumah tangga
Ada empat kategori masalah yang dapat membawa rumah tangga kepada konflik, Masing-masing masalah dapat membawa pada keretakan rumah tangga, perceraian atau bahkan kehancuran yang lebih parah dari semua itu. Secara sederhana, mari kita lihat masing-masing kategori masalah tersebut yaitu:
2. Perbadaan Psikis
Suami istri yang secara psikis belum matang, mudah terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan yang sepele. Mereka cepat sekali mereaksi karena perbedaan selera makanan, perbedaan cara menghidangkan ataupun perbedaan perilaku ketika makan. Mereka bisa mengalami konflik terbuka maupun tertutup hanya gara-gara persoalan semacam ini.
Sebelum berbicara lebih lanjut, rasanya lebih baik kita lihat sekilas apa yang dimaksud konflik tertutup dan konflik terbuka. Konflik tertutup artinya, suami istri merasakan kekecewaan yang mendalam atau kemarahan yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang cukup lama, tetapi tidak dinyatakan secara terbuka. Mereka tidak mendialogkan, juga tidak mengungkapkannya dalam bentuk kemarahan. Hanya, mereka “bertengkar” dalam hati.
Konflik terbuka berarti, masing-masing melontarkan kekecewaannya atau kemarahannya secara frontal kepada pasangannya dan masing-masing tidak bisa saling menerima. Ini menyebabkan mereka melakukan pertengkaran dan setiap pertengkaran yang tidak diikuti perbaikan dapat menyebabkan mereka merasakan kekecewaan dan kemarahan yang semakin kuat.
Kadang perbedaan yang sepele itu bisa menyebabkan konflik terbuka. Tetapi, sejarah keruntuhan rumah tangga ternyata masih saja menyimpan catatan bahwa perbedaan-perbedaan yang sungguh-sungguh sanggup untuk menghancurkan bangunan rumah tangga. Ironisnya, yang membuat warna rumah tangga menjadi kelam kadang bukan suami dan istri, tetapi saudara-saudara dari suami atau istri. Keadaan ini kadang muncul dan menjadi masalah yang meluas karna mereka tidak berkesempatan untuk belajar berumah tangga secara alamiah dan wajar, misalnya karena mereka belum hidup di rumah sendiri.
3. Sikap Empati
Suatu ketika istri ingin membuat kejutan yang menyenangkan kita. Saat itu, orang bilang ulang tahun kita. Ia buat puding yang agak mewah dibanding biasanya tanpa sepengetahuan Anda. Sekali lagi, ini dilakukan istri Anda karena karena ingin membuat kejutan yang menyenangkan Anda. Nanti, ia akan menghidangkan puding istimewa itu kepada Anda begitu pulang kerja. Dan ia akan bahagia manakala melihat Anda berseri-seri, apalagi kalau mau mengucapkan terima kasih dan sedikit pujian buat istri.
Tetapi ketika datang dan memperoleh sambutan semacam itu, Anda justru tidak bahagia. Anda sedih. Bukankah ulang tahun berarti kepergian seseorang ke alam kubur semakin dekat? Mengapa kematian yang mendekat sebelum kematian itu datang disambut bahagia oleh orang lain?
Tak hanya itu, Anda bahkan marah. Ulang tahun, menurut Anda, hanya penghambur-hamburan uang untuk sesuatu yang tidak perlu. Ulang tahun hanya membuat orang untuk cenderung kepada dunia yang sebentar dan tidak mendorong untuk mempersiapkan mati. Padahal meninggalkan kecintaan
terhadap dunia dan membangkitkan kecintaan terhadap kehidupan sesudah mati, alangkah sulitnya. Mengapa harus dipersulit lagi dengan pesta-pesta ulang tahun?
Alhasil, istri anda kecewa. Sangat-sangat kecewa (kecuali jika istri anda seperti Fathima az -zahra yang segera istighfar begitu Rasulullah tidak jadi masuk ke rumahnya karena melihat ada kelambu terpasang). Menurut istri Anda, tidak seharusnya Anda bersikap demikian. Mestinya Anda bisa sedikit toleran. Kita dianjurkan bersyukur. Pesta ulang tahun itu sebagai bentuk syukur. Sementara Anda tetap tidak bisa menerima. Sikap istri sangat berlebihan. Peristiwa ini akhirnya membuat istri Anda tak acuh terhadap Anda. Ia kurang memperhatikan urusan taba’ul (pelayanan) suami. Apa gunanya bersikap penuh perhatian kepada suami macam itu kalau dia tidak bisa berterima kasih ? Kalau ini terjadi, maka pintu konflik telah terbuka. Jika terus berlangsung, konflik yang benar-benar terbuka bisa meledak. Suami istri melakukan pertengkaran atas sebab puding ulang tahun.
Pertengkaran yang terjadi karena perbedaan sikap terhadap ulang tahun ini, sangat mungkin meledak karena tidak adanya tabayyun (saling memberi dan meminta penjelasan) secara lapang dada. Karena tidak ada tabayyun, masing-masing berjalan dengan anggapan dan prasangkanya sendiri-sendiri. Keduanya tidak saling meluruskan kekeliruan, tetapi saling menyalahkan. Dan orang cenderung tidak mau disalahkan, meskipun mereka suka kalau diingatkan terhadap kesalahannya.
4. Menyalahkan Pasangan dan Saling Menyalahkan
Ini lah yang sering terjadi. Sikap tidak mau melakukan tabayyun ini membuat masing-masing tidak mampu memperbaiki hubungan. Mereka tidak menemukan titik temu dan saling menyadari kekhilafan untuk kemudian menemukan yang terbaik. Dalam bahasa agama mereka tidak bisa melakukan ishlah (perbaikan). Melakukan ishlah tidak berarti suami istri mengkompromikan apa pun yang dianggap tidak sesuai, asal keharmonisan hubungan keduanya bisa terjaga dengan baik. Tidak demikian Lebih-lebih kalau ketidaksesuaian sikap itu menyangkut hal-hal yang menyangkut keyakinan tentang benar dan salah. Akan tetapi, keduanya menmukan titik perdamaian ketika harus mengoreksi perilaku yang salah.
Jadi, kalau perayaan ulang tahun tidak bisa diterima misalnya, maka sikap ini bisa dipahami dan diterapkan dalam rumah tangga mereka tanpa harus ada perpecahan. Masalah sikap ini sering menyebabkan konflik dalam rumah tangga, terutama ketika mereka berdua tidak biasa berdialog untuk tabayyun. Masalah ini juga sering menyebabkan terjadinya pertengkaran dan bahkan perceraian.
5. Perbedaan Prinsip Keimanan
Iman kita kadang naik, kadang turun. Kita kadang sangat bersemangat melaksanakan sebagian ketentuan agama, termasuk perkara-perkara sunnah, tetapi kadang untuk melaksanakan yang wajib agak enggan. Penghayatan iman kita juga tidak tetap. Setiap saat sangat mungkin untuk mengalami perubahan, baik karena membaca, mendengar pengajian, merenungkan kejadian-kejadian setiap saat, atau mengikuti serangkaian kursus ilmu-ilmu keislaman secara berkesinambungan.
Peristiwa-peristiwa khusus juga bisa mengubah penghayatan iman kita secara mencolok. Orang yang sebelumnya tidak peduli terhadap kesengsaraan orang lain, bisa berubah sama sekali karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat itu tidak ada yang menolongnya sama sekali sampai akhirnya seorang pengemis melihatnya dan memberikan pertolongan. Ini mengubah sikapnya secara total, sehingga setiap saat ia memikirkan orang lain.
Perubahan naik turunnya iman atau perubahan dalam menghayati iman kepada Allah, kadang tidak terjadi secara bersamaan dan seimbang antara suami istri. Perbedaan ini bisa memunculkan konflik. Lebih-lebih pada orang yang baru mengalami penyadaran, biasanya sangat peka terhadap kesalahan orang lain dan cenderung mudah bersikap reaktif. Begitu ada kesalahan, dia segera menanggapi --repotnya kadang tidak bijak caranya.
Ketika orang bersikap reaktif dan sangat peka terhadap kesalahan orang, maka ia kurang bisa menerima bahwa setiap orang memiliki tahap-tahap sendiri. Ia lupa bahwa hidayah Allah tidak datang pada waktu yang bersamaan, serentak dan sama kadarnya untuk semua orang. Ia lupa bahwa kesadaran tentang apa yang harus dikerjakan oleh hamba Allah, tidak semata-mata dari pengetahuan dan ilmu, tetapi hidayah Allah-lah yang lebih menentukan. Ia lupa itu sehingga cenderung tidak sabar menasehati.
Situasi semacam ini bisa muncul manakala seseorang memperoleh kejutan pemahaman dari murabi yang sebenarnya belum mengerti tentang muridnya; belum paham soal tahap-tahap , soal akal binaannya, dan seterusnya. Bahkan adakalanya, pengetahuan tentang al-mad’uw (orang yang didakwahi) tidak dianggap penting. Semua orang disamaratakan. Ibarat menghadapi orang banyak dengan gangguan jiwa yang bermacam-macam, semua diberi anti-depressant. Kalau sebagian besar mengalami depresi, maka resep itu masih lumayan hasilnya. Tetapi kalau yang mengalami depresi hanya satu orang, sementara sebagian besar mengalami gangguan jiwa dengan cir-iciri yang justru berkebalikan dengan depresi, resep itu justru membawa keburukan bagi orang-orang yang kita hadapi.
Situasi semacam itu juga bisa muncul dari kegiatanyang memberi kejutan besar dengan mencecar mereka tentang dosa-dosa, sementara tidak ada syaikh yang mampu membimbing dan mengawasi keadaan ruhani peserta. Ini menjadikan mereka mengalami perubahan yang total tanpa kesiapan dan keseimbangan. Mereka secara psikis masih labil. Mereka masih dalam suasana terkejut tanpa ada yang membimbing tentang bagaimana menghadapi keadaan dirinya, sehingga akhirnya mereka bersikap kaku dan keras. Begitu kaku dan kerasnya, sampai akhirnya mereka harus berpisah atau bahkan memusuhi orang tua disebabkan oleh perkara-perkara yang tidak wajib.
Sebagian orang memandang sikap semacam ini sebagai militansi. Tetapi sesungguhnya sangat berbeda antara militansi dengan kekakuan. Konflik terbuka juga bisa muncul bukan karena salah satunya mengalami perubahan secara mencolok tanpa diimbangi oleh yang lain. Konflik bisa
muncul karena sejak mula memang ada perbedaan mendasar dalam memahami dan meyakini soal-soal aqidah.
Ada juga konflik yang berkenaan dengan perbedaan prinsip keimanan,tetapi berangkat dari masalah sikap, keras kepala misalnya.ia tidak mau diingatkan tentang persoalan-persoalan yang telah jelas-jelas dipesankan dalam As-Sunnah, hanya karena ia mendengar informasi yang mirip dengan itu sebagai paham yang salah. Misalnya tentang kewajiban mencintai ahl-bayt. Karena selama ini mencintai ahl-bayt selalu dikaitkan dengan tasyayyu’ (menjadi Syiah), maka begitu ada yang mengingatkan agar kita mencintai ahlbayt, serta merta ia dituding sebagai pengikut Syiah. Padahal mencintai ahlbayt wajib atas setiap orang yang mengikuti jalan ahl-sunnah, sebagaimana banyak disebutkan dalam berbagai hadis. Di antaranya itu ada hadis-hadis yang kedudukannya sangat kuat, sehinga tidak ada keraguan di dalamnya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “kutinggalkan kepada kalian dua peninggalanku: kitabullah sebagai tali yang terentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlul baytku. Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadakudi al-Haudh (surga).” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dari Hadis Zaid bin Tsabit dan dari dua shahih Bukhari-Muslim).
Kiat-kiat menyelesaikan konflik.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan mudah-mudahan Allah selalu menolong kita dalam menyelesaikan perkara ini, yaitu:
1. Sabar
Saat konflik merebak, maka yang dibutuhkan adalah kesabaran. Kesabaran meliputi kerelaan menerima, ketahanan menghadapi dan kemampuan menahan diri dari melakukan sesuatu yang mampu ia lakukan, tetapi jika dikerjakan tidak banyak mendatangkan kemaslahatan. Lebih banyak mudharat daripada maslahat.
Jika anda bersabar dari kezaliman orang lain, bukan berarti Anda tidak mampu melakukan pembalasan. Tetapi anda tidak mau melakukannya disebabkan anda masih menunggu kalau-kalau ia akan menjadi baik dan dapat menjadi saudara dalam naungan Islam. Jika anda bersabar dalam menasehati seseorang yang keras kepala, bukan berarti Anda tidak bisa membentak dan berkata dengan sangat keras kepadanya. Akan tetapi Anda mengharap ridha dari Allah dengan meneladani perintah Allah kepada Musa ‘alaihi salam ketika mengingatkan Fir’aun.
Sabar tidak sama dengan ketidakberdayaan sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Sabar juga bukan kejumudan, sehingga kita hanya terdiam tidak melakukan apa-apa. Tetapi sabar lebih condong kepada kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengambil tindakan sebelum tepat saatnya. Tetapi sabar lebih cenderung kepada usaha untuk menjaga kejernihan pikiran dan kebersihan hati sehingga tidak mengambil tindakan secara tergesa-gesa. Lalu apa persisnya tentang pengertian sabar? Bukan bagian saya untuk membahas. Telah ada buku-buku yang sangat bagus membahas masalah sabar ini. Ulama-ulama kita yang insya-Allah bersih dan jernih hatinya telah menuangkan tintanya untuk menerangkan kepada kita tentang sabar. Kepada merekalah anda perlu merujuk, apa definisi (ta’rif) sabar yang benar.
Sabar juga memuat ketahanan untuk menunggu saat yang baik karena bersama kesulitan ada kemudahan, serta menjaga harapan kepada Allah karena sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
Pada titik tertentu, sabar dalam perkara nikah juga bisa berarti keikhlasan untuk bercerai dengancara yang baik dan demi mencapai kebaikan tertinggi. Sebagaimana Allah tidak menyukai kekerasan dan penganiayaan, tetapi pada saatnya berperang merupakan bentuk kesabaran yang paling tinggi nilainya sehingga kematian dalam berperang di jalan-Nyaberarti jaminan surga tanpa hisab.
Sabar juga berarti Anda rela diamputasi yang memotong kaki kanan Anda ketika tak ada pilihan yang lebih baik daripada memotong kaki; ketika mempertahankan kaki justru akan merusak bagian-bagian tubuh yang lebih penting dan membahayakan jiwa Anda. Jika dulu Anda mengikhlaskan kaki Anda sakit termasuk sabar; maka sekarang merelakan kaki sakit tanpa mengizinkannya dipotong boleh jadi sudah keluar dari batas kesabaran. Anda boleh jadi sudah termasuk menganiaya diri sendiri. Anda menzalimi diri sendiri.
Gambaran-gambaran tentang sabar ini perlu saya kemukakan di sini agar dapat merangsang Anda untuk memahami sabar dengan lebih baik. Saya sendiri masih berusaha untuk memahami sabar dengan lebih tepat. Hal ini karena kita sering sekali berbicara tentang sabar tanpa penjelasan, sehingga kita seakan-akan sudah mengerti semua apa makna sabar. Sekali lagi, pengertian yang lebih lanjut bukan bagian buku ini utuk membahas. Saya kira, itu saja dulu pembahasan kita.
2. Dialog
Dialog suami istri dimaksudkan untuk mengikis hambatan-hambatan psikis. Kadang masalah muncul bukan karena tidak ada kecocokan di kedua belah pihak, melainkan karena sangat kurangnya kesempatan bagi keduanya untuk saling berbincang dari hati ke hati. Boleh jadi, hanya dengan dialog atau sekedar obroloan ringan, konflik-konflik yang kelihatan sulit untuk dipecahkan dapat mencair sendiri. Dialog juga dimaksudkan untuk tabayyun atau saling memperoleh kejelasan. Tabayyun dilaksanakan untuk meluruskan informasi yang kita terima atau untuk meluruskan persepsi kita mengenai informasi yang kita dengar. Kadang kita kesal, dongkol dan marah kepada seseorang ketika mendengar informasi tentang dia. Padahal setelah melakukan tabayyun, kita menangis karena persepsi sama sekali terbalik.Melalui tabayyun kita melakukan perbaikan hubungan. Kita membangun kembali bagian-bagian yang retak, memaafkan kesalahan-kesalahan teman hidup kita dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri, mau menerima bahwa untuk melakukan perbaikan perlu proses dan waktu, serta tak bosan mengingatkan. Melalui tabayyun (saling meminta penjelasan) kita melakukan ishlah (perbaikan untuk mengakurkan kembali). Selagi hati masih bisa terbuka dan tak ada luka yang terlalu parah untuk disembuhkan.
3. Mencari Penengah
Jika konflik sudah tak bisa diatasi dengan dialog --mungkin karena keduanya sudah tidak bisa berdialog meskipun mereka merasa berdialog-- sementara keadaan semakin kritis dan pertengkaran semakin runcing, maka kehadiran penengah yang adil sudah diperlukan. Kita mengambil penengah dari keluarga kita. Merekalah yang akan bertindak sebagai hakim. Allah Swt. berfirman: “Apabila kamu khawatir kesulitan di antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarganya apabila keduanya menghendaki perdamaian dan kebaikan, maka Allah akan mndamaikan di antara keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha engetahui.” (QS. An-Nisa’: 35). Jadi, masing-masing mengambil penengah yang bisa diterima, penengah yang adil dan mengerti tentang keduanya serta berdiri di tengah-tengah. Artinya, dia netral dan tidak cenderung membela salah satu pihak, padahal ia belum mengetahui permasalahan diantara keduanya.
Mengenai penengah ini, ‘Abdul Hamid Kisyik berkata, “penyelesaian akhir yang masih dapat ditempuh adalah dengan cara mendatangkan waliyul amri atau orang tua keduanya. Sebab, mereka inilah yang mengetahui perkara dan dapat mencari jalan pemecahannya dengan mengirim hakim (penengah) dari keluarga suami dan hakim dari keluarga istri agar mereka mempelajari konflik yang terjadi, kemudian mendamaikan keadaan bila memungkinkan bagi keduanya.”
Jadi, tugas saudara-saudara dan orang tua suami maupun istri bukanlah untuk mendukung sikap saudara atau anaknya, apalagi justru memberi nilai rapor yang jelek bagi ipar atau menantunya. Tugas mereka adalah menjadi penenang, orang yang memahami,dan syukur-syukur bisa menjadi hakim yang adil dan mengerti apa yang terbaik untuk kebaikan yang lebih tinggi yang lebih tinggi bagi rumah tangga saudara dan iparnya.
Jika ipar atau mertua lebih banyak memberi nilai rapor yang merah daripada menasehati dengan penuh cinta kasih dan kelembutan, maka konflik akan semakin memanas. Konflik ini bisa berkembang menjadi “ganjalan perasaan” antara dua keluarga besar, yaitu keluarga besar suami berikut sanak kerabatnya dengan keluarga besar istri berikut sanak kerabatnya. Boleh jadi, akhirnya tidak sekedar “ganjalan perasaan” yang ada diantara mereka. Dan yang saya rasa sangat ironis adalah kalau sikap ipar beserta mertua inilah justru yang menjadi penyebab munculnya konflik. Ini bukan berarti saudara tidak boleh menilai iparnya dan orang tua tidak boleh mengoreksi istri anaknya. Tidak demikian. Apalagi jika menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil dan tidak bisa ditawar-tawar secara syar’i. tetapi tugas mereka adalah membatasi komentar negatif untuk hal-hal yang tidak begitu penting, terutama untuk hal-hal yang tidak menjadi kewajiban ipar. semoga tulisan sederhana ini bisa membantu untuk penyelesaian masalah-masalah dalam rumah tangga, aamiin, wallahu a'lam bisshawab.
Membangun rumah tangga dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan. Pernikahan dalam Islam menjadi sunnah Rasulullah yang memberikan banyak sekali pahala sepanjang hidup.
Namun setiap rumah tangga tidaklah selalu mulus saja. Ada saja masalah dalam rumah tangga yang terkadang menimbulkan keributan antara suami dan istri. Permasalahan yang timbul dalam pernikahan kadang kala membuat kita jengkel sehingga menceritakan kepada teman tentang permasalahan tersebut.
Menceritakan masalah rumah tangga pada teman sebenarnya tidak dilarang, hanya saja ada aturan tertentu yang harus diperhatikan ketika menceritakan masalah rumah tangga pada orang lain. Menceritakan masalah rumah tangga juga pernah dilakukan oleh Fatimah. Dan kali ini akan dibahas hukum menceritakan masalah rumah tangga. Pahala Bagi Pasangan yang Mampu Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga dengan Baik Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan beliau bertanya: “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu itu, sambil mengatakan,
قُمْ أَبَا تُرَابٍ،قُمْأَبَاتُرَابٍ
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)
Dari riwayat di atas jelas bahwa masalah rumah tangga adalah sesuatu yang biasa terjadi. Namun bagi pasangan yang mampu menghadapi masalah rumah tangga dengan baik, maka pahala pada mereka.
Berceritalah Tentang Masalah yang Dihadapi Kepada Orang yang Bisa di Percaya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ،مِنْنَصَبٍوَلاَوَصَبٍ،وَلاَهَمٍّوَلاَحُزْنٍوَلاَأَذًىوَلاَغَمٍّ،حَتَّىالشَّوْكَةِيُشَاكُهَا،إِلَّاكَفَّرَاللَّهُبِهَامِنْخَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Menceritakan permasalahan rumah tangga pada orang lain hendaknya memilih orang yang benar-benar bisa dipercaya sehingga rahasia rumah tangga pun bisa dijaga dengan baik.
Allah berfirman,
وَ شَاوِرْهُمْ فيالأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Tidak Baik Menceritakan Rahasia atau Keburukan Pasangan Kepada Orang Lain
Jangan pula menyebarkan rahasia rumah tangga yang penting seperti rahasia ranjang.
Abi Sa’id al Khudri ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling buruk tempatnya disisi Allah pada hari kiamat adalah : suami yang memberitahu rahasia kepada istrinya dan istrinya pun memberitahukan kepadanya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pemiliknya.” (HR. Abu Daud)
Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya amanat yang paling besar disisi Allah pada hari kiamat adalah suami yang memberi tahu rahasia kepada istrinya, dan istrinya memberi tahu rahasia kepadanya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim)
Janganlah Mengatakan Keburukan Pasangan Kepada Orang Lain
Menceritakan masalah rumah tangga juga hendaknya dengan menggunakan kata-kata yang baik tanpa menjelek-jelekkan pasangan.
Allah berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُالْجَهْرَبِالسُّوءِمِنَالْقَوْلِإِلَّامَنْظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)
Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,
لَا تَقُلْ لَهَاقَوْلًاقَبِيحًاوَلَاتَشْتُمْهَاوَلَاقَبَّحَكِاللَّهُ
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).
Allah SWT Menjadi Tempat Mengadu yang Paling Tepat
Meskipun dibolehkan, namun ada baiknya untuk tidak menceritakan masalah rumah tangga sembarangan. Mengadulah hanya pada Allah SWT.
Allah berfirman, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. ” (QS Qaf: 16).
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُوْبثّيْوَحُزْنِيْإِلَىاللهِ
“Dia (Ya’qub) menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS Yusuf: 86)
وَ إِذَا سَأَلَكَعِبَادِىعَنِّىفَإِنِّىقَرِيْبٌأُجِيْبُدَعْوَةَالدَّاعِإِذَادَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” [QS Al Baqarah: 186]
Rasul bersabda, “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah” [Riwayat At Tirmidzi. Beliau berkomentar, “ (Hadits ini) hasan shahih.”]
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [QS Ghafir: 60]
Rasulullah shalawaturrabbi wa salamuh ‘alaih juga pernah bersabda:
لَا تَعْجِزُوْ فِيالدُّعَاءِفَإِنّهُلَنْيَهْلِكَمَعَالدُّعَاءِأَحَدٌ
“Jangan kalian lemah (sedikit) dalam berdoa. Karena tidak akan binasa orang yang selalu berdoa.” [Direkam oleh Ibnu Hibban dalam Ash Shahih, Al Hakim dalam Al Mustadrak, Adh Dhiya’ dalam Al Mukhtarah. Ketiganya menilainya shahih. Lihat Tuhfatudz Dzakirinhal. 31]
Itulah penjelasan singkat mengenai hukum menceritakan masalah rumah tangga. Sungguh boleh menceritakan masalah rumah tangga demi mendapatkan solusi yang baik, namun perhatikan selalu setiap perkataan dan orang yang dituju. Jangan sampai hanya karena mengikuti emosi, lalu bercerita dengan penuh amarah sehingga menyebabkan masalah menjadi semakin runyam.
Semoga bermanfaat, Wallahu A'lam Bishowab.
Jika ingin mengetahui secara lebih terperinci lagi, bisa Anda konsultasikan kepada Ustadz Imam Teguh, Lc yang beralamatkan di Jalan Kinibalu No. 26 B / 42 Rt01/13 Kel.Sidanegara, Kec.Cilacap Tengah Kab.Cilacap JAWA TENGAH atau di nomor WA 082115411233
Posting Komentar untuk "Permasalahan Seputar Rumah Tangga"